Kamis, 29 Januari 2009

Minggu, 04 Januari 2009

Budaya Jawa
Budaya Jawa pranataning uripe wong Jawa nuju kasampuraning jalma manungsa. Pranatan iki tegese pangerten lan cara. Pangerten bab urip nuduhake sapa sejatinging manungsa iku, jejer lan kewajibane. Dene cara nuduhake pakeming tumindak ing purwa, madya lan wusana ning kahanan. Uripe wong Jawa tansah njaga larasing swasana. Dadi kabeh perangane urip kaya ta pribadine dhewe, liyan, alam lan apa wae sing ana sakliyane dheweke kudu isa nampa lan nyengkuyung budine sing nuju marang kasampurnaning urip.
Sajarah
Budaya utawa kabudayan Jawa iku salah siji kabudayan sing wis mapan, amarga wis suwe banget anane. Budaya Jawa ora madeg dhewe. Animisme, Dinamisme miwiti ananing Budaya Jawa. Hindhu, Budha, Nasrani lan Islam ya akeh banget pasumbange marang Budaya Jawa. Budaya Jawa wiwit mula bukane gampang nampa lumebune bab-bab anyar saka njaba angger ora sisip sembir karo pokok ugerane. Budaya Jawa urip bebarengan karo Agama lan Kapitadosan sing ana. Wataking Budaya Jawa sing tansah nggoleki larase swasana gampang nampa ananing budaya liya.
Sub Budaya Jawa
Jawa Wetanan
Kanggo tulisan sabanjuré, pirsani Budaya Jawa Wetan
Sub budaya Jawa Wetanan iku sing umume ana ing provinsi Jawa Wetan. Sub budaya iki sebageyan dipengaruhi budaya Madura lan sebageyan maneh esih nganut budaya Jawa kuna misale sing dianut suku Tengger.
Jawa Tengahan
Kanggo tulisan sabanjuré, pirsani Budaya Jawa Tengah
Sub budaya Jawa Tengahan iku ana ing sisih wetan provinsi Jawa Tengah lan sisih kulon Jawa Wetan. Umume dipengaruhi budaya sing urip neng kratonan.
Jawa Banyumasan
Kanggo tulisan sabanjuré, pirsani Budaya Banyumasan
Sub budaya Jawa Banyumasan iku ana ing sisih kulon provinsi Jawa Tengah. Sub budaya iki luwih sederhana lan nganut nilai-nilai egaliter, cablaka lan baworan.
Tradisi lan Adat
• Upacara adat Jawa
• Pengantenan adat Jawa
• Nyadran

Bahasa Jawa
Bahasa Jawa adalah bahasa pertuturan yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di sesetengah bahagian Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia. Bahasa Jawa terbahagi menjadi dua yaitu Ngoko dan Kromo. Ngoko sendiri dalam perkembangannya secara tidak langsung terbagi-bagi lagi menjadi ngoko kasar dan ngoko halus ( campuran ngoko dan kromo ). Selanjutnya Krama itu terbagi lagi menjadi Krama, Krama Madya, Krama Inggil ( Krama Halus ). Krama Madya inipun agak berbeda antara Krama yang dipergunakan dikota / Sala dengan Krama yang dipergunakan di pinggiran / desa. Sedangkan Krama Haluspun berbeda antara Krama Halus/Inggil yang dipergunakan oleh kalangan Kraton dengan kalangan rakyat biasa.
Bahasa Jawa dianggarkan digunakan sekitar dua per tiga penduduk pulau Jawa. Bahasa jawa ini memiliki aksara-nya sendiri, yang dikembangkan dari huruf Pallava, dan juga huruf Pegon yang diubahsuai dari huruf Arab.
Penduduk Jawa yang berhijrah ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehinggakan terdapat kawasan penempatan mereka dikenali sebagai kampung Jawa, padang Jawa.
Loghat
Loghat dalam Bahasa Jawa terbagi menjadi dua kategori:
1. Loghat Sosial
2. Logat Daerah
Loghat dalam Bahasa Jawa menurut kelas sosial:
1. Ngoko
2. Ngoko Andhap
3. Madhya
4. Madhyantara
5. Kromo
6. Kromo Inggil
7. Bagongan
8. Kedhaton
Kedua loghat terakhir digunakan di kalangan keluarga Kraton dan sulit dipahami oleh orang Jawa kebanyakan.
Perbezaan perkataan menurut loghat sosial dalam Bahasa Jawa boleh difahami melalui contoh berikut:
* Bahasa Indonesia: “Maaf, saya mau tanya rumah kak Budi itu, di mana?”
1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?”
4. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?”
5. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?”
6. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
7. Krama: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
8. Krama inggil: “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
Berdasarkan daerah, loghat dari Bahasa Jawa adalah sebagai berikut: Kelompok Bahasa Jawa Bagian Barat :
1. Loghat Banten
2. Loghat Indramayu-Cirebon
3. Loghat Tegal
4. Loghat Banyumasan
5. Loghat Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Kelompok pertama di atas sering disebut bahasa Jawa ngapak-ngapak.
Kelompok Bahasa Jawa Bagian Tengah :
1. Loghat Pekalongan
2. Loghat Kedu
3. Loghat Bagelen
4. Loghat Semarang
5. Loghat Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
6. Loghat Blora
7. Loghat Surakarta
8. Loghat Yogyakarta
Kelompok kedua di atas sering disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya Loghat Surakarta dan Yogyakarta.
Kelompok Bahasa Jawa Bagian Timur :
1. Loghat Madiun
2. Loghat Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
3. Loghat Surabaya
4. Loghat Malang
5. Loghat Tengger
6. Loghat Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)
Kelompok ketiga di atas sering disebut Bahasa Jawa Timuran.
Aksara Jawa
Hanacaraka atau Carakan adalah aksara yang digunakan untuk menulis Bahasa Jawa di masa yang lampau. Aksara ini masih diajarkan di sekolah-sekolah di pulau Jawa. Seperti aksara Asia Tenggara lainnya, aksara ini juga mengambil model dari Aksara Pallava/Vatteluttu.
Meskipun begitu, masing-masing aksara telah memiliki bentuk yang berbeza sehingga masing-masing pengguna tidak mampu membaca aksara lain meskipun berada di dalam satu keluarga.
Huruf-huruf dasar dalam Hanacaraka/Carakan :

Hanacaraka gaya Jawa, aksara-aksara dasar
Bila diucapkan, susunan aksara tersebut dapat membentuk kalimat: Hana Caraka (Terdapat Pengawal); Data Sawala (Berbeda Pendapat); Padha Jayanya (Sama kuat/hebatnya); Maga Bathanga (Keduanya mati).
Adapula tafsir berbeda yang diajarkan oleh Pakubuwono IX, Raja Kasunanan Surakarta. Tafsir tersebut adalah:
• Ha-Na-Ca-Ra-Ka berarti ada " utusan " yakni utusan hidup, berupa nafas yang berkewajiban menyatukan jiwa dengan jasat manusia. Maksudnya ada yang mempercayakan, ada yang dipercaya dan ada yang dipercaya untuk bekerja. Ketiga unsur itu adalah Tuhan, manusia dan kewajiban manusia ( sebagai ciptaan ).
• Da-Ta-Sa-Wa-La berarti manusia setelah diciptakan sampai dengan data " saatnya ( dipanggil ) " tidak boleh sawala " mengelak " manusia ( dengan segala atributnya ) harus bersedia melaksanakan, menerima dan menjalankan kehendak Tuhan.
• Pa-Dha-Ja-Ya-Nya berarti menyatunya zat pemberi hidup ( Khalik ) dengan yang diberi hidup ( makhluk ). Maksdunya padha " sama " atau sesuai, jumbuh, cocok " tunggal batin yang tercermin dalam perbuatan berdasarkan keluhuran dan keutamaan. Jaya itu " menang, unggul " sungguh-sungguh dan bukan menang-menangan " sekedar menang " atau menang tidak sportif.
• Ma-Ga-Ba-Tha-Nga berarti menerima segala yang diperintahkan dan yang dilarang oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Maksudnya manusia harus pasrah, sumarah pada garis kodrat, meskipun manusia diberi hak untuk mewiradat, berusaha untuk menanggulanginya.

Bahasa Jawa
Bahasa Jawa adalah bahasa yang digunakan penduduk suku bangsa Jawa terutama di beberapa bagian Banten terutama di kabupaten Serang dan Tangerang, Jawa Barat khususnya kawasan Pantai utara terbentang dari pesisir utara Karawang, Subang, Indramayu dan Cirebon, Jawa Tengah & Jawa Timur di Indonesia.
Penyebaran Bahasa Jawa
Penduduk Jawa yang berpindah ke Malaysia turut membawa bahasa dan kebudayaan Jawa ke Malaysia, sehingga terdapat kawasan pemukiman mereka yang dikenal dengan nama kampung Jawa, padang Jawa. Di samping itu, masyarakat pengguna Bahasa Jawa juga tersebar di berbagai wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kawasan-kawasan luar Jawa yang didominasi etnis Jawa atau dalam persentase yang cukup signifikan adalah : Lampung (61%), Bengkulu (25%), Sumatra Utara (antara 15%-25%). Khusus masyarakat Jawa di Sumatra Utara ini, mereka merupakan keturunan para kuli kontrak yang dipekerjakan di berbagai wilayah perkebunan tembakau, khususnya di wilayah Deli sehingga kerap disebut sebagai Jawa Deli atau Pujakesuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Sedangkan masyarakat Jawa di daerah lain disebarkan melalui program transmigrasi yang diselenggarakan semenjak jaman penjajahan Belanda.
Selain di kawasan Nusantara ataupun Malaysia. Masyarakat Jawa juga ditemukan dalam jumlah besar di Suriname, yang mencapai 15% dari penduduk secara keseluruhan, kemudian di Kaledonia Baru bahkan sampai kawasan Aruba dan Curacao serta Belanda. Sebagian kecil bahkan menyebar ke wilayah Guyana Perancis dan Venezuela.
Fonologi
Dialek baku bahasa Jawa, yaitu yang didasarkan pada dialek Jawa Tengah, terutama dari sekitar kota Surakarta dan Yogyakarta memiliki fonem-fonem berikut:
Vokal:
Depan Tengah Belakang
i u
e ə o
(ɛ) (ɔ)
a
Konsonan:
Labial Dental Alveolar Retrofleks Palatal Velar Glotal
Letupan p b t d ʈ ɖ tʃ dʒ k g ʔ
Frikatif s (ʂ) h
Likuida & semivokal w l r j
Sengau m n (ɳ) ɲ ŋ
Perhatian: Fonem-fonem antara tanda kurung merupakan alofon.
[sunting] Penjelasan Vokal:
Tekanan kata (stress) direalisasikan pada suku kata kedua dari belakang, kecuali apabila sukukata memiliki sebuah pepet sebagai vokal. Pada kasus seperti ini, tekanan kata jatuh pada sukukata terakhir, meskipun sukukata terakhir juga memuat pepet. Apabila sebuah kata sudah diimbuhi dengan afiks, tekanan kata tetap mengikuti tekanan kata kata dasar. Contoh: /jaran/ (kuda) dilafazkan sebagai [j'aran] dan /pajaranan/ (tempat kuda) dilafazkan sebagai [paj'aranan].
Semua vokal kecuali /ə/, memiliki alofon. Fonem /a/ pada posisi tertutup dilafazkan sebagai [a], namun pada posisi terbuka sebagai [ɔ]. Contoh: /lara/ (sakit) dilafazkan sebagai [l'ɔrɔ], tetapi /larane/ (sakitnya) dilafazkan sebagai [l'arane]
Fonem /i/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [i] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [e]. Contoh: /panci/ dilafazkan sebagai [p'aɲci] , tetapi /kancil/ kurang lebih dilafazkan sebagai [k'aɲcel].
Fonem /u/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [u] namun pada posisi tertutup lafaznya kurang lebih mirip [o]. Contoh: /wulu/ (bulu) dilafazkan sebagai [w'ulu] , tetapi /ʈuyul/ (tuyul) kurang lebih dilafazkan sebagai [ʈ'uyol].
Fonem /e/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [e] namun pada posisi tertutup sebagai [ɛ]. Contoh: /lele/ dilafazkan sebagai [l'ele] , tetapi /bebek/ dilafazkan sebagai [b'ɛbɛʔ].
Fonem /o/ pada posisi terbuka dilafazkan sebagai [o] namun pada posisi tertutup sebagai [ɔ]. Contoh: /loro/ dilafazkan sebagai [l'oro] , tetapi /boloŋ/ dilafazkan sebagai [b'ɔlɔŋ].
[sunting] Penjelasan Konsonan:
Fonem /k/ memiliki sebuah alofon. Pada posisi terakhir, dilafazkan sebagai [ʔ]. Sedangkan pada posisi tengah dan awal tetap sebagai [k].
Fonem /n/ memiliki dua alofon. Pada posisi awal atau tengah apabila berada di depan fonem eksplosiva palatal atau retrofleks, maka fonem sengau ini akan berubah sesuai menjadi fonem homorgan. Kemudian apabila fonem /n/ mengikuti sebuah /r/, maka akan menjadi [ɳ] (fonem sengau retrofleks). Contoh: /panjaŋ/ dilafazkan sebagai [p'aɲjaŋ], lalu /anɖap/ dilafazkan sebagai [ʔ'aɳɖap]. Kata /warna/ dilafazkan sebagai [w'arɳɔ].
Fonem /s/ memiliki satu alofon. Apabila /s/ mengikuti fonem /r/ atau berada di depan fonem eksplosiva retrofleks, maka akan direalisasikan sebagai [ʂ]. Contoh: /warsa/ dilafazkan sebagai [w'arʂɔ], lalu /esʈi/ dilafazkan sebagai [ʔ'eʂʈi].
[sunting] Fonotaktik
Dalam bahasa Jawa baku, sebuah sukukata bisa memiliki bentuk seperti berikut: (n)-K1-(l)-V-K2.
Artinya ialah Sebagai berikut:
• (n) adalah fonem sengau homorgan.
• K1 adalah konsonan eksplosiva ata likuida.
• (l) adalah likuida yaitu /r/ atau /l/, namun hanya bisa muncul kalau K1 berbentuk eksplosiva.
• V adalah semua vokal. Tetapi apabila K2 tidak ada maka fonem /ə/ tidak bisa berada pada posisi ini.
• K2 adalah semua konsonan kecuali eksplosiva palatal dan retrofleks; /c/, /j/, /ʈ/, dan /ɖ/.
Contoh:
• a
• an
• pan
• prang
• njlen
Dialek-Dialek Bahasa Jawa
Bahasa Jawa pada dasarnya terbagi atas dua klasifikasi dialek, yakni :
• Dialek daerah, dan
• Dialek sosial
Karena bahasa ini terbentuk dari gradasi-gradasi yang sangat berbeda dengan Bahasa Indonesia maupun Melayu, meskipun tergolong rumpun Austronesia. Sedangkan dialek daerah ini didasarkan pada wilayah, karakter dan budaya setempat. Perbedaan antara dialek satu dengan dialek lainnya bisa antara 0-70%. Untuk klasifikasi berdasarkan dialek daerah, pengelompokannya mengacu kepada pendapat E.M. Uhlenbeck, 1964, di dalam bukunya : "A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura", The Hague: Martinus Nijhoff[1].
Kelompok Bahasa Jawa Bagian Barat :
1. Dialek Banten
2. Dialek Cirebon
3. Dialek Tegal
4. Dialek Banyumasan
5. Dialek Bumiayu (peralihan Tegal dan Banyumas)
Kelompok pertama di atas sering disebut bahasa Jawa ngapak-ngapak.
Kelompok Bahasa Jawa Bagian Tengah :
1. Dialek Pekalongan
2. Dialek Kedu
3. Dialek Bagelen
4. Dialek Semarang
5. Dialek Pantai Utara Timur (Jepara, Rembang, Demak, Kudus, Pati)
6. Dialek Blora
7. Dialek Surakarta
8. Dialek Yogyakarta
9. Dialek Madiun
Kelompok kedua di atas sering disebut Bahasa Jawa Standar, khususnya dialek Surakarta dan Yogyakarta.
Kelompok Bahasa Jawa Bagian Timur :
1. Dialek Pantura Jawa Timur (Tuban, Bojonegoro)
2. Dialek Surabaya
3. Dialek Malang
4. Dialek Jombang
5. Dialek Tengger
6. Dialek Banyuwangi (atau disebut Bahasa Osing)
Kelompok ketiga di atas sering disebut Bahasa Jawa Timuran.
Dialek sosial dalam Bahasa Jawa berbentuk sebagai berikut :
1. Ngoko lugu
2. Ngoko andhap
3. Madhya
4. Madhyantara
5. Krama
6. Krama Inggil
7. Bagongan
8. Kedhaton
Kedua dialek terakhir digunakan di kalangan keluarga Keraton dan sulit dipahami oleh orang Jawa kebanyakan.
Bilangan dalam bahasa Jawa
Bila dibandingkan dengan bahasa Melayu atau Indonesia, bahasa Jawa memiliki sistem bilangan yang agak rumit.
Bahasa 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jawa Kuna sa rwa telu pat lima nem pitu wwalu sanga sapuluh
Kawi
eka dwi tri catur panca sad sapta asta nawa dasa
Krama
setunggal kalih tiga sekawan gangsal nem pitu wolu sanga sedasa
Ngoko
siji loro telu papat lima nem pitu wolu sanga sepuluh
Angka Ngoko Krama
11 sewelas setunggal welas
12 rolas kalih welas
13 telulas tiga welas
14 padbelas sekawan welas
15 limalas gangsal welas
16 nembelas sekawan welas
17 pitulas pitulas
18 wolulas wolulas
19 sangalas sangalas
20 rongpuluh kalih dasa
21 selikur selikur/kalih dasa setunggal
22 rolikur kalih likur
23 telulikur tigang likur
24 padlikur sekawan likur
25 selawe selangkung
26 nemlikur nemlikur
30 telung puluh tigang dasa
31 telung puluh siji tigang dasa setunggal
32 telung puluh loro tigang dasa kalih
40 patang puluh sekawan dasa
41 patang puluh siji sekawan dasa setunggal
42 patang puluh loro sekawan dasa kalih
50 sèket sèket
51 sèket siji sèket setunggal
52 sèket loro sèket kalih
60 swidak swidak
61 swidak siji swidak setunggal
62 swidak loro swidak kalih
70 pitung puluh pitung dasa
100 satus setunggal atus
101 satus siji setunggal atus setunggal
102 satus loro setunggal atus kalih
120 satus rong puluh setunggal atus kalih dasa
121 satus selikur setunggal atus kalih dasa setunggal
200 rong atus kalih atus
500 limang atus gangsal atus
1.000 sèwu setunggal èwu
1.001 sèwu siji setunggal èwu setunggal
1.002 sèwu loro setunggal èwu kalih
1.500 sèwu limang atus setunggal èwu gangsal atus
1.520 sèwu limang atus rong puluh setunggal èwu gangsal atus kalih dasa
1.550 sèwu limang atus sèket setunggal èwu gangsal atus sèket
1.551 sèwu limang atus sèket siji setunggal èwu gangsal atus sèket setunggal
2.000 rong èwu kalih èwu
5.000 limang èwu gangsal èwu
10.000 sepuluh èwu sedasa èwu
100.000 satus èwu setunggal atus èwu
500.000 limang atus èwu gangsal atus èwu
1.000.000 sayuta setunggal yuta
1.562.155 sayuta limang atus swidak loro èwu satus sèket lima setunggal yuta gangsal atus swidak kalih èwu setunggal atus sèket gangsal
Fraksi
• 1/2 setengah, separo, sepalih (Krama)
• 1/4 saprapat, seprasekawan (Krama)
• 3/4 telung prapat, tigang prasekawan (Krama)
• 1,5 karo tengah, kalih tengah (Krama)
Perbedaan gaya dalam bahasa Jawa
Bahasa Jawa adalah bahasa yang membedakan gaya bahasa secara sosial menjadi tiga tingkatan, yaitu: ngoko, madya dan krama. Selain itu dikenal pula apa yang disebut kata-kata honorifik untuk merendahkan diri dan meninggikan lawan bicara. Kata-kata ini disebut kata-kata krama andhap dan krama inggil. Bahasa-bahasa lain yang juga membedakan gaya-gaya bahasa adalah bahasa Sunda, bahasa Madura dan bahasa Bali. Di bawah ini disajikan contoh sebuah kalimat dalam beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda ini.
• Bahasa Indonesia: “Maaf, saya mau tanya rumah kak Budi itu, di mana?”
1. Ngoko kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
2. Ngoko alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
3. Ngoko meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?”
4. Madya: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?”
5. Madya alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?”
6. Krama andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
7. Krama: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
8. Krama inggil: “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten pundi?”
*nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari dan merupakan kependekan dari bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nêng.
Dengan memakai kata-kata yang berbeda, dalam sebuah kalimat yang secara tatabahasa berarti sama, seseorang bisa mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga terhadap yang dibicarakan.
Namun harus diakui bahwa tidak semua penutur bahasa Jawa mengenal semuanya. Biasanya mereka hanya mengenal ngoko dan sejenis madya.

Suku Jawa
Suku bangsa Jawa, adalah suku bangsa terbesar di Indonesia. Jumlahnya mungkin ada sekitar 90 juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan terutama ditemukan di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tetapi di provinsi Jawa Barat banyak ditemukan Suku Jawa, terutama di Kabupaten Indramayu dan Cirebon yang mayoritas masyarakatnya merupakan orang-orang Jawa yang berbahasa dan berbudaya Jawa, dan di Banten dan tentu saja Jakarta mereka banyak diketemukan. Selain suku Jawa baku terdapat subsuku Osing dan Tengger.
Bahasa
Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah polling yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur dan selebihnya terutama bahasa Jawa.
Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.
Kepercayaan
Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katholik juga banyak. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.
Profesi
Di Indonesia, orang Jawa bisa ditemukan dalam segala bidang. Terutama bidang Administrasi Negara dan Militer banyak didominasi orang Jawa. Meski banyak pengusaha Indonesia yang sukses berasal dari suku Jawa, orang Jawa tidak menonjol dalam bidang Bisnis dan Industri, banyak diantara suku jawa bekerja sebagai buruh kasar dan tenaga kerja indonesia seperti pembantu, dan buruh di hutan-hutan di luar negeri yang mencapai hampir 6 juta orang.
Stratifikasi Sosial
Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Pakar antropologi Amerika yang ternama, Clifford Geertz, pada tahun 1960an membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: kaum santri, abangan dan priyayi. Menurutnya kaum santri adalah penganut agama Islam yang taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut Kejawen, sedangkan kaum Priyayi adalah kaum bangsawan. Tetapi dewasa ini pendapat Geertz banyak ditentang karena ia mencampur golongan sosial dengan golongan kepercayaan. Kategorisasi sosial ini juga sulit diterapkan dalam menggolongkan orang-orang luar, misalkan orang Indonesia lainnya dan suku bangsa non-pribumi seperti orang keturunan Arab, Tionghoa dan India.
Seni
Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Tetapi pengaruh Islam dan Dunia Barat ada pula.
Stereotipe orang Jawa
Orang Jawa memiliki stereotipe sebagai sukubangsa yang sopan dan halus.[1] Tetapi mereka juga terkenal sebagai sukubangsa yang tertutup dan tidak mau terus terang. Sifat ini konon berdasarkan watak orang Jawa yang ingin menjaga harmoni atau keserasian dan menghindari konflik, karena itulah mereka cenderung untuk diam dan tidak membantah apabila terjadi perbedaan pendapat.
Tokoh-tokoh Jawa
• RA. Kartini, Pahlawan Nasional.
• Michelle Branch, Penyanyi internasional berdarah keturunan Jawa.
• Wage Rudolf Supratman, Pencipta lagu "Indonesia Raya".
• HM. Soeharto, Mantan Presiden Republik Indonesia.
• Soekarno, Proklamator dan mantan Presiden Republik Indonesia.
• Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia.
• Megawati Soekarno Poetri, Mantan presiden republik indonesia dan sekaligus presiden wanita pertama di Indonesia
• Abdurrahman Wahid, Mantan Presiden Republik Indonesia.
• Paul Salam Soemohardjo, Ketua Parlemen Suriname dan Ketua Partai Pertjaja Luhur di Suriname.
• Khofifah Indar Parawansa, Politikus dan Mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan.
• Ahmad Dahlan, Ulama (Kyai) dan pendiri organisasi Muhammadiyah.
• Saifullah Yusuf, mantan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.
• Nurcholish Madjid, cendekiawan dan budayawan.
• Purnomo Yusgiantoro, Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral.
• Wahid Hasjim, pahlawan nasional Indonesia dan menteri negara dalam kabinet pertama Indonesia.
• Hasyim Asyari, Pendiri Nahdatul Ulama.
• Julius Darmaatmadja, Uskup Agung Jakarta dan Mantan Ketua KWI (Konferensi Waligereja Indonesia)2000-2006.

Pulau Jawa
Pulau Jawa adalah nama sebuah pulau di Indonesia. Pulau ini merupakan pulau terbanyak penduduknya, pulau terpadat penduduknya, dan pulau ketigabelas terbesar di dunia ini. Luas pulau ini 138.793,6 km2 dengan penduduk sekitar 124 juta jiwa (kepadatan 979 jiwa per km2). Penduduk Pulau Jawa sebagian besar adalah suku Jawa dan suku Sunda. Suku Sunda terutama bermukim di sisi barat Pulau Jawa, sementara suku Jawa bermukim di sebelah tengah dan timur. Di sebelah barat Pulau Jawa ada pula banyak kantong-kantong komunitas suku Jawa atau suku bangsa yang berbahasa Jawa. Sedangkan di tengah pulau Jawa ada juga ditemukan kantun-kantong komunitas suku Sunda atau suku bangsa yang berbahasa Sunda, terutama di Kabupaten Brebes dan Kabupaten Cilacap. Selain itu ada pula suku Madura, dan suku Bali di Jawa Timur dan suku Betawi di sebelah barat Jawa di kota Jakarta dan sekitarnya.
Secara administratif pulau Jawa dibagi menjadi enam Daerah Tingkat I:
• Daerah Khusus Ibukota Jakarta
• Provinsi Banten
• Provinsi Jawa Barat
• Provinsi Jawa Tengah
• Provinsi Jawa Timur
• Daerah Istimewa Yogyakarta
Pulau ini merupakan bagian dari gugusan kepulauan Sunda Besar dan paparan Sunda, yang pada masa sebelum es mencair merupakan ujung tenggara benua Asia.
Daftar gunung di pulau Jawa
Pulau Jawa merupakan pulau vulkanik. Di sini terdapat banyak gunung berapi.
• Gunung Anjasmara
• Gunung Argapura
• Gunung Arjuna
• Gunung Gede
• Gunung Pangrango
• Gunung Salak
• Gunung Burangrang
• Gunung Tangkuban Parahu
• Gunung Bukit Tunggul
• Gunung Malabar
• Gunung Wayang
• Gunung Masigit
• Gunung Papandayan
• Gunung Guntur
• Gunung Cikuray
• Gunung Patuha
• Gunung Cereme
• Gunung Slamet
• Gunung Sundara
• Gunung Sumbing
• Gunung Merapi
• Gunung Merbabu
• Gunung Ungaran
• Gunung Lawu
• Gunung Welirang
• Gunung Kembar I
• Gunung Kembar II
• Gunung Penanggungan
• Gunung Mahameru
• Gunung Wilis
• Gunung Raung
• Gunung Krakatau
• Gunung Galunggung